teks

Perbarui Info & Tips Unik di Estomihi Bloog

Jumat, 04 September 2015

Baru Tersentuh Pendidikan 5 Tahun Lalu

Suku Anak Dalam (SAD) kini banyak berubah. Sentuhan perubahan zaman mengubah kehidupan mereka. Di bidang pendidikan, anak-anak SAD sangat antusias belajar tulis baca. Hal inilah terlihat saat koran ini berkunjung ke kawasan Taman Nasional Bukit 12, Provinsi Jambi.
MEMASUKI perkampungan SAD merupakan pengalaman menarik yang sulit dilupakan. Begitupun saat kunjungan baru-baru ini ke Taman Bukit Dua Belas (12).  Setelah melewati waktu enam jam dari Kota Jambi, bersama fotografer, M Ridwan dan Fasilitator Pendidikan, Theo Aldhora Fernando, kami sampai di Simpang Pauh, Sarolangun. Disana, rupanya Depati dari SAD kelompok terap, Ngelambu sudah menunggu. Memakai jaket hitam, celana pendek, rambut lusuh dan sendal jepit, sembari tersenyum ia menyambut kedatangan kami.
“Ini polong yang dari jambei (ini rombongan yang dari Jambi,red),” ujar Nyurau sembari tersenyum.
“Iya pak Depati, (sebelumnya saya sudah diberitahu oleh pendamping kami Theo, bahwa dia merupakan Depati),” jawab saya.
Ia menyebutkan jalan untuk masuk ke lokasi tempat tinggalnya rusak parah karena belum tersentuh pembangunan. Kendati demikian tetap bisa dilewati mobil dengan double gardan.
“Jalon leak, tapi mobel dubol beso masuk (jalan becek, tapi bisa masuk dengan menggunakan mobil dobel gabin),” katanya.
Perjalanan dari Simpang Pauh ditempuh dalam waktu lama.  Memang di daerah tersebut  pemukiman warga. Ke lokasi pemukiman SAD, kami melewati kawasan perkebunan sawit PT EMAL. Disana, kami langsung melalui jalan tanah.
Dalam perjalanan, hanya terlihat hamparan kebun sawit dan beberapa anak sungai. Hampir satu jam perjalanan, kawasan PT Emal pun kami lewati. Kami pun masuk ke wilayah lahan karet HTI yang dikelola PT Wahana Perintis, saya pun bertanya, kapan kita masuk ke wilayah hutan tempat tinggal Depati?
“Dido hutan lagi, sudah habaih ngan orang PT (Tidak ada lagi, semuanya sudah habis, red),” jawab Depati.
Mendengar jawaban itu, bulu roma saya merinding. Bagaimana tidak, sembari menunjukkan hamparan kebun karet yang luasnya mencapai 6000 hektare, Depati menyebutkan jika di sekitaran lahan tersebut adalah wilayah jelajah dan tanah ulayat mereka. Bahkan, kuburan nenek moyang dan rumah lama yang bagi mereka sangat sakral, sudah tidak ada lagi. Habis tergusur oleh pihak perusahaan.
Satu jam lamanya melewati hamparan kebun karet dengan sayup mata memandang, akhirnya satu persatu pondok dengan atap terpal hitam dan berlantaikan kayu yang dilapisi tikar terlihat. Jarak pondok yang berukuran 2×3 itu dengan yang lainnya arak sekitar 10 meter.
Pemukiman pertama, ada sekitar lima pondok yang sama. Disana terlihat beberapa anak kecil sedang bermain. Sedangkan orang dewasa tengah asik ngobrol antara satu dengan yang lainnya.
Kami meneruskan perjalanan ke  pemukiman Temenggung SAD Kelompok Terap, Marituah. Dimana, di lokasi yang letaknya di perbukitan itu ada sekitar 10 pondok. Miris, mereka tidak lagi tinggal di dalam hutan, tetapi sudah berada di sudut lahan karet. Ini merupakan hutan dan wilayah jelajah mereka yang sudah dibabat oleh perusahaan.
Sesaat kami memarkirkan kendaraan, seakan-akan letih dalam perjalan menuju ke lokasi itu hilang. Kami disambut  anak-anak orang rimba, tanpa baju yang hanya mengenakan pakaian khas mereka yang biasa disebut cancut, mendekati kami. Itu adalah kebiasan yang dilakukan oleh mereka jika melihat orang asing.
Depati dan fasilitator dari Warsi ini Theo, langsung mengantarkan kami untuk bertemu tumenggung, dan dipersilahkan untuk menunggu di depan sebuah pondok. 10 menit menunggu, terlihat seorang dengan rambut lusuh, tanpa alas kaki dan hanya mengenakan cancut mendekati kami.
Setelah diberitahu Theo, ternyata itu adalah tumenggung yang merupakan pemimpin kelompok ini. Kami pun langsung berjabat tangan dan mengenakan diri, serta menyampaikan maksud dan tujuan kami. Dia menyampaikan, bahwa kami harus mematuhi adat mereka. Dimana, kami tidak diperbolehkan mengambil mengabadikan gambar wanita dan rumah mereka. Karena menurut kepercayaan SAD, rumah sangat sakral, kemudian wanita adalah hal yang harus dilindungi.
Kendati demikian, sang Tumenggung mengizinkan kami untuk melihat dan meliput kegiatan belajar anak-anak mereka yang mana semuanya adalah anak laki-laki dari umur 10-15 Tahun.
“Disiko jangon ngambik foto, Dido boleh. Kalau nak meliput kegiatan anak-anak belajar boleh, dak apo-apo lah,” ujar tumenggung.
Hanya saja, kami tidak bisa melihat anak-anak belajar di tempat tersebut. Dikatakan Theo,bahwa lokasi belajar mereka ada di suatu tempat yang merupakan pondok belajar. Namun, pondok itu tidak selalu digunakan. Pasalnya, ia harus mengikuti mereka yang selalu berpindah-pindah tempat di wilayah tersebut.
“Kalau pondok itu, hanya digunakan ketika kelompok mereka berada disekitar pondok itu. Tetapi kalau mereka berpindah-pindah, saya juga mengikuti mereka,” kata Theo.
Beruntung, saat itu anak-anak yang aktif dalam belajar tengah berkumpul di pemukiman Tumenggung Marituah, jadi mereka langsung mengikuti kami menuju pondok belajar. Sekitar 30 menit disana, kami melanjutkan perjalanan menuju pondok belajar di bibir hutan. Masih dalam kawasan lahan karet, terlihat beberapa pondok yang sudah mereka tinggalkan.  Melewati sungai Jelute dengan jalan tanah yang terjal. Hampir 5 tempat kami temui, yang merupakan bekas pondok yang mereka tinggalkan. Masih terlihat pakaian serta atap pondok yang terbuat dari terpal hitam.
Perjalanan kami tidak berjalan mulus, beberapa kali kami turun untuk mendorong mobil karena tidak bisa melewati jalan yang sangat-sangat buruk atau yang biasa mereka sebut jalan yang leak. Tepatnya di Sungai Anak Dangku, jalan sangat buruk sehingga membuat kami turun dari dalam mobil.
Satu jam kemudian, tepatnya pukul 16.30 Wib, sampai lah kami di camp yang dibangun oleh pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Warsi. Disana, kami pun langsung beristirahat karena menempuh perjalanan panjang dengan jalan yang buruk dan terjal.
Depati Nyurau mengatakan, kelompoknya menerima untuk diberikan pendidikan hanya sejak lima tahun terakhir. Dimana sebelumnya mereka mengganggap pena sebagai salah satu yang bisa merusak adat dan kebudayaan mereka. Dengan hal itu, banyak LSM yang masuk untuk memberikan pendidikan mereka tolak mentah.
“Sebenanyo dulu zaman nenek moyang kami, kami sering tertipu oleh perusahaan yang memanfaatkan kami untuk mendapatkan lahan. Diberikan surat, ini aku tolong jempol surat ini dengan pak tumenggung ataupun depati. Ini tidak apo-apo surat ini. Sudah jempol taunyo hutannyo habis,” akunya.
Bahkan, tidak jarang mereka tertipu oleh para tengkulak yang menampung hasil pencaharian mereka. Dimana, pengepul tidak membayar penuh sesuai dengan nilai yang harus ia terima. Mereka hanya menerima saja karena memang tidak mengerti dengan nilai uang dan lainnya.
Berawal dari hal tersebut, kata Depati, kelompoknya meminta kepada Zulkifli, warga masyarakat yang mengikuti kelompok ini sejak 1973. “Tu awal-awal mangkonyo kami cari orang yang biso mendampingi suku anak dalam, tolong iajak sekolah jangan lagi ditipu orang.  Itu namonyo Pak Zul bapak angkat kami (sembari menunjukkannya),,” ucap Depati.
Dengan itu para petinggi kelompok langsung berunding. Penuh pertimbangan, akhirnya kelompok SAD Terap ini menyatakan untuk menerima masuknya pendidikan. Namun ada satu syarat, yakni meski anak cucu mereka sekolah tinggi, setelah selesai harus kembali ke kelompok mereka agar bisa membimbing dan memberikan yang terbaik untuk kelompok.
“Waktu itulah kami menerimo. Syaratnyo walaupun sekolah tinggi, kalau sudah selesai tetap balik ke rimbo. Barulah anak ini ado sekolah,” terangnya.
Pria dengan tinggi sekitar 160 Cm ini, menyatakan harapan yang sangat besar kepada anak-anak yang mengikuti pelajaran. “Harapannyo dengan anak ini memang besar, mereka memang harus tulus-tulus tukang tulis baco agar jangan lagi ditipu orang. Kalau ado surat masuk, kami tinggal sodorkan bae lagi,” pungkasnya
Semenjak anak-anak ini sudah mulai sekolah, lanjutnya, kemudian juga dengan adanya pendamping dari LSM, kelompoknya tidak lagi ditipu. Bahkan saat ini mereka sudah mengunci rapat kepada perusahaan yang ingin menebangi pohon mereka. “Sudah ada surat yang masuk, tapi bisa dibaca, kalau surat nya baik yo kami jempol, kalau buruk kami buang. Kalau dulu main jempol bae,” tutupnya. 

sumber : http://www.jambiekspres.co.id/berita-19646-baru-tersentuh-pendidikan-5-tahun-lalu.html

0 comments:

Posting Komentar

beri komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

 

Kontak Admin di :

TwitterFacebookGoogle PlusInstagramEmail